Senin, 22 Desember 2014
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” [An Naml: 16]
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Saat ini, kita
telah banyak melihat dalam kehidupan sehari-hari kita, banyak orang tidak
mengenal lagi suatu kebenaran. Parameter kebenaran yang banyak dipahami bukan
lagi kebenaran mutlak, kebenaran yang dipahami adalah ketika banyak orang
mengatakan “benar” sekalipun itu adalah sesuatu yang salah. Sebenarnya,
fenomena semacam ini bukan lah seuatu yang baru dalam sejarah kehidupan
manusia. Sebagaimana yang ditulis oleh Abu Fatiah Al Adnani dalam tulisannya
yang berjudul “Ketika Parameter Menilai Kebenaran Telah Berubah” di majalah An
Najah bulan Oktober lalu, Al Quran banyak berkisah tentang fenomena ini.
“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan, ‘usirlah Luth beserta
keluarganya dari negerimu. Karena sesungghnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan)
dirinya bersih” [An Naml: 56]
Menurut Abu
Fatiah Al Adnani, ayat dalam surat di atas memberi gambaran tentang terjadinya
pergeseran nilai dalam sebuah masyarakat. Mereka, kaum Nabi Luth menganggap
bahwa orang yang menjaga keluhuran dan kehormatan justru dianggap penjahat dan
harus mendapat hukuman. Orang yang berkeinginan memperbaiki kondisi masyarakat
dianggap sebagai perusak, dan harus di usir dari lingkungan mereka. Saat
homoseksual telah menjadi gaya hidup mereka, hingga tidak ada seorang pun
merasa terganggu, maka mereka menganggap aneh orang-orang yang tidak
berperilaku seperti mereka.
Al Quran juga
mengisahkan tentang Nabi Musa yang tertulis dalam surat [Al A’raf : 127], Nabi
Musa dianggap oleh pengikut Firaun sebagai perusak dan tidak boleh dibiarkan
begitu saja. Begitu juga pembesar kaum Syuaib yang beranggapan bahwa mengikuti
ajaran Nabi Syuaib justru akan
mengantarkan pada kerugian [Al A’raf: 90]. Kerugian yang mereka maksud tentunya
bukan kerugian akherat, melainkan kerugian karena hilangnya kedudukan, jabatan,
serta hilangnya kenikmatan hidup.
Saya, setuju
dengan ungkapan Abu Fatiah Al Adnani, hari ini kita juga sedang mengalamai
fenomena ini. Karena memang fenomena seperti itulah yang saya lihat saat ini.
Banyak orang yang sudah melupakan “kebenaran” yang sesungguhnya, justru
orang-orang yang berusaha berpegang teguh pada kebenaran dianggap sebagai orang
aneh. Kita bisa melihat dari cara berpakaian kaum wanita. Mereka yang
berpakaian terbuka dianggap biasa saja, tapi wanita yang berpakaina tertutup
dan syar’I justru dianggap aneh. Kita juga bisa melihat dari
pemikiran-pemikiran yang mulai terlihat bebas, seperti pacaran dianggap hal
yang umum dan dianjurkan, tapi remaja yang menjomblo justru dianggap kuper.
Begitulah
fenomena bergesernya parameter kebenaran yang sedang kita hadapi saat ini.
Kebanyakan orang tidak lagi menganggap “kebenaran” datang dari wahyu Allah.
Mereka justru menganggap “kebenaran” adalah sesuatu yang kebanyakan orang
menganggapnya “benar”. Menurut saya, fenomena ini erat kaitannya dengan illusion of truth dan hello effect yang kita kenal dalam ilmu
psikologi. Tentunya, fenomena ini juga disebabkan banyak faktor termasuk kebodohan,
fanatik, taklid buta, ghulu, dan lalai dari perenungan ayat-ayat Allah. Kebodohan
dan lali dari perenungan ayat-ayat Allah menyebabkan kita mengalami “illusion of truth”, sementara fanatik,
taklid, dan ghulu berawal dari hello
effect.
Illusion of Truth artinya adalah ilusi
kebenaran. Yaitu, ketika suatu kabar diungkapkan secara berulang-ulang, kita
akan mulai meyakini bahwa kabar itu adalah valid, meskipun sebenarnya kabar itu
hanyalah sebuah kebohongan. Contoh sederhananya bisa kita temui saat kita
sedang ujian. Ketika kita dibingungkan dengan pilihan jawaban saat ujian, bisa
jadi kita memilih bertanya pada teman yang posisinya dekat dengan kita untuk
meyakinkan, meskipun saat itu kita telah memiliki persangkaan jawaban. Bisa
jadi, ketika kita menyangka jawaban yang benar adalah A, namun kita tahu
jawaban teman disamping kita adalah B, pun teman di belakang dan depan kita
juga memilih jawaban B. Kita pun akhirnya berfikiri, mungkin jawaban yang benar
memang B. Padahal, kenyataannya belum tentu jawaban itu benar, bisa jadi
jawaban yang kita sangkakan justru benar. Begitupun dengan fenomena yang kita
hadapai saat ini, kebenaran yang berasal dari anggapan kebanyakan orang, bisa
jadi itu hanyalah sebuah ilusi. Bahkan, media-media saat ini sudah sering
menggunakan trik ini dalam melakukan black
campaign, agar masyarakat percaya pada berita bohong dengan cara
mengulang-ulang pemberitaan itu.
Bergesernya
parameter kebenaran juga tidak lepas dari hello
effect yang keterlaluan.
Seringkali, kita terjebak dalam hal ini. Ketika kita menganggap seseorang itu
benar, sering kali kita bahkan tidak akan mempercayai bahwa ia melakukan suatu
kesalahan. Sehingga kita justru menganggap kesalahan yang ia lakukan merupakan
sesuatu hal yang benar, dan kita mulai mengikutinya. Kita sudah terburu-buru
mencap seseorang yang berbeda pendapat dengan kita adalah tidak benar. Seperti inilah
fanatik, menganggap benar sesuatu yang diwarisi dari nenek moyang kita
sekalipun itu adalah batil. Ini juga merupakan gambaran ghulu
(berlebih-lebihan) dalam mencintai seseorang yang kita anggap benar,
sampai-sampai kita tidak percaya bahwa ia melakukan kesalahan dan justru
menganggap kesalahan itu adalah suatu kebenaran. Ini juga merupakan gambaran
taklid, yaitu mengambil pendapat manusia tanpa mengetahuo dalilnya dan tanpa
menyelidiki sejauh mana kebenarannya.
Padahal,
bukankah Allah telah berpesan untuk tidak mengikuti kebanyakan orang? Dan bukankah
Allah telah berpesan bahwa bisa jadi yang kita benci adalah baik dan yang kita
suka adalah buruk. Maka, alangkah baiknya jika ditengah-tengah masyarakat
dengan kondisi seperti ini kita memfilter informasi yang kita dapat, dan tidak
langsung menerimanya mentah-mentah, tapi juga dipilah berdasarkan kebenaran
yang hakiki atas dasar petunjuk Allah dan RasulNya, agar kita tidak termasuk
dalam orang-orang yang terjebak dalam menilai kebenaran.
*Amatullah Sibghotul Iezzah
Semarang, Gunungpati, 22 Desember
2014