Seperti apakah marah?
Di
antara semua situasi hati yang ingin dijauhi orang, amarah merupakan jenis
ledakan emosi yang sukar di ajak kompromi. Berbeda dengan bentuk emosi negative
seperti kesedihan dan depresi yang membuat pelakunya menarik diri. Amarah menimbulkan
semangat, terasa “menggairahkan”, memberi dorongan yang kuat bagi pelakunya
untuk melampiaskannya. Amarah dapat tampil dalam bentuk beragam dengan pola
yang semuanya berifat destruktif: mengamuk, beringas, benci, marah besar,
jengkel, kesal hati, berang, tersinggung, bermusuhan, hingga tingkat ekstremnya
kekerasan dan kebencian patologis.
Bagaimana Pandangan Ilmu Kedokteran
tentang Marah?
Ilmu
kedokteran telah membuktikan bahwa mereka yang sedang marah, baik yang dipendam
maupun yang dimuntahkan, akan memicu refleks simpatis disertai peningkatan
kadar hormone katekolamin (adrenalin) dalam darah. Membanjirnya hormone katekolamin
ini akan memunculkan refleks siaga yang dapat kita rasakan sensasinya, seperti
terpacunya irama denyut jantung (kadang
terdengar ditelinga debar-debar suara jantung), otot-otot berkontraksi
menegang, tekanan darah naik, keringat dingin bermunculan di dahi, pembuluh
darah di otot melebar sedang di visceral
(organ dalam) dan periveral menyempit (wajah akan terlihat pucat), serta mata
berakomodasi penuh kesiagaan. Ledakan hormone katekolamin ini membangkitkan
emosi sesaat dan cukup membangkitkan tindakan yang dahsyat seperti mempersiapkan
tubuh untuk “bertempur atau kabur”. Refleks demikian jika berlangsung lama dan
kerap terjadi akan membahayakan kesehatan, menguras energy, hingga akhirnya
mempercepat proses penuaan.
Dalam
salah satu artikel dalam jurnal JAMA (Journal of the American Medical
Association) disebutkan bukti-bukti penelitian bahwa faktor resiko emosional
bagi serangan jantung lebih penting dibandingkan faktor resiko fisik bahwa
amarah dan ketiadaan rasa kasih bisa mengalahkan peranan kolesterol dalam darah
dalam menimbulkan kemungkinan teerjadinya penyakit jantung koroner.
Puasa: melatih menahan amarah
Dalam
konteks amarah tersebut, relevan sekali jika puasa dikaitkan dengan kesehatan
dengan salah satu sikap moral puasa, yakni “menahan amarah”. Selama berpuasa,
seseorang dilatih untuk menahan amarah. Secara fiqh sikap marah akan
membatalkan atau mengurangi nilai puasa seseorang. Rasulullah SAW bersabda “jika
seseorang memaki atau menyerangmu, katakanlah, aku sedang berpuasa,”
Puasa
mengandung pesan agar orang menghindari perilaku yang tidak sehat, termasuk
perilaku yang didorong oleh emosi negative (hendak marah, tidak sabar, atau
kesal). Efek pengendalian diri dengan berlatih tidak melampiaskan amarah besar
pengaruhnya terhadap kesehatan karena ia akan menghindarkan seseorang dari efek
buruk akibat ledakan kadar hormone katekolamin secara berlebihan ketika orang
marah, kesal, hati panas, dan tidak sabar.
Inti
dari puasa adalah pengendalian diri (self control). Orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap
dorongan-dorongan yang datang, baik dari dalam diri maupun dari luar. Nabi
Muhammad shalallahu alaihi wasalam bersabda, “puasa itu bukanlah sekedar
menahan diri dari makan dan minum, tetapi sesungguhnya puasa itu adalah
mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia serta menjauhi perbuatan yang kotor
dan keji,” (HR Al Hakim). Makan, minum dan seks merupakankebutuhan dasar
manusia. Ketika berpuasa ditanamkan prinsip bahwa kitalah yang berkuasa terhadap
diri kita (nafsu kita), bukan kita yang dikendalikan oleh nafsu.
La Taghdob!
Marah,
bukan tidak boleh. Rasulullah sendiri pernah marah dalam hidupnya, tetapi
beliau baru akan marah ketika sesuatu yang sangat substansial diusik (seperti
kesucian Allah dan keislaman yang diserang). Namun, bila menyangkut pribadi
beliau yang diganggu, hati beliau seluas samudra. Salah satu tipologi kemuliaan
ku kepribadian Rasulullah adalah “Nabi
sukar sekali marah, tapi gampang memaafkan kesalahan orang,” (sedang,
temperamen kebanyakan kita mungkin di antara ini: mudah marah-gampang memaafkan,sukar marah-sukar memaafkan, atau yang
paling celaka mudah marah sukar memaafkan)
Suatu
ketika, seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Amal apa yang paling disukai
Allah, sedikit tapi bisa mengantarkan ke surga?” “la taghdob!” (jangan marah!)
jawab Nabi (HR Bukhori). Al Quran mencirikan salah satu ketakwaan yakni “kemampuan
menahan amarah dan kesanggupan memaafkan orang lain,” QS Ali Imran 134.
Menyitir
kembali melodrama kisah Adam di surga yang mengisahkan pelanggaran pertama yang
dilakukan nenek moyang manusia itu adalah mendekati sebuah pohon terlarang. Padahal
ketika itu Adam bebas untuk memakan apapun yang ada di taman surge, kecuali
satu saja, hanya sebuah pohon. Itu pun ternyata dilanggar. Jadi, kita dapat
mengambil iktibar sebagai anak turun Adam bahwa dasar kelemahan kita sebagai
manusia adalah ketidakmampuan mengendalikan diri.
“maka sesuatu yang diberikan kepadamu,
itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih abik
dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, merka memberi maaf” (QS
Asy-Syura 6-37)
**diambil dari:
Rahasia Kesehatan
rasulullah, karya dr. Ade Hashman, Sp.An, penerbit Noura Books
Posting Komentar