Lingkar Studi Islam Psikologi Unnes


Merupakan lembaga Kerohanian Islam yang mengkaji permasalahan psikologi dari perspektif islam di Jurusan Psikologi, Fakultan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang yang Sehat, Unggul, dan sejahtera.

Gedung A1 Lantai 2 Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Kec. Gunungpati Semarang

email : lsipsikologi.unnes@gmail.com
No. HP : 085865091326
News Update :
slider otomatis
Home » » Emosi Negatif di Sekitar Kita: Marah

Emosi Negatif di Sekitar Kita: Marah

Penulis : maama on Minggu, 06 April 2014 | Minggu, April 06, 2014


Seperti apakah marah?
Di antara semua situasi hati yang ingin dijauhi orang, amarah merupakan jenis ledakan emosi yang sukar di ajak kompromi. Berbeda dengan bentuk emosi negative seperti kesedihan dan depresi yang membuat pelakunya menarik diri. Amarah menimbulkan semangat, terasa “menggairahkan”, memberi dorongan yang kuat bagi pelakunya untuk melampiaskannya. Amarah dapat tampil dalam bentuk beragam dengan pola yang semuanya berifat destruktif: mengamuk, beringas, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, berang, tersinggung, bermusuhan, hingga tingkat ekstremnya kekerasan dan kebencian patologis.

Bagaimana Pandangan Ilmu Kedokteran tentang Marah?
Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa mereka yang sedang marah, baik yang dipendam maupun yang dimuntahkan, akan memicu refleks simpatis disertai peningkatan kadar hormone katekolamin (adrenalin) dalam darah. Membanjirnya hormone katekolamin ini akan memunculkan refleks siaga yang dapat kita rasakan sensasinya, seperti terpacunya  irama denyut jantung (kadang terdengar ditelinga debar-debar suara jantung), otot-otot berkontraksi menegang, tekanan darah naik, keringat dingin bermunculan di dahi, pembuluh darah di otot melebar sedang di visceral (organ dalam) dan periveral menyempit (wajah akan terlihat pucat), serta mata berakomodasi penuh kesiagaan. Ledakan hormone katekolamin ini membangkitkan emosi sesaat dan cukup membangkitkan tindakan yang dahsyat seperti mempersiapkan tubuh untuk “bertempur atau kabur”. Refleks demikian jika berlangsung lama dan kerap terjadi akan membahayakan kesehatan, menguras energy, hingga akhirnya mempercepat proses penuaan.
Dalam salah satu artikel dalam jurnal JAMA (Journal of the American Medical Association) disebutkan bukti-bukti penelitian bahwa faktor resiko emosional bagi serangan jantung lebih penting dibandingkan faktor resiko fisik bahwa amarah dan ketiadaan rasa kasih bisa mengalahkan peranan kolesterol dalam darah dalam menimbulkan kemungkinan teerjadinya penyakit jantung koroner.
Puasa: melatih menahan amarah
Dalam konteks amarah tersebut, relevan sekali jika puasa dikaitkan dengan kesehatan dengan salah satu sikap moral puasa, yakni “menahan amarah”. Selama berpuasa, seseorang dilatih untuk menahan amarah. Secara fiqh sikap marah akan membatalkan atau mengurangi nilai puasa seseorang. Rasulullah SAW bersabda “jika seseorang memaki atau menyerangmu, katakanlah, aku sedang berpuasa,”
Puasa mengandung pesan agar orang menghindari perilaku yang tidak sehat, termasuk perilaku yang didorong oleh emosi negative (hendak marah, tidak sabar, atau kesal). Efek pengendalian diri dengan berlatih tidak melampiaskan amarah besar pengaruhnya terhadap kesehatan karena ia akan menghindarkan seseorang dari efek buruk akibat ledakan kadar hormone katekolamin secara berlebihan ketika orang marah, kesal, hati panas, dan tidak sabar.
Inti dari puasa adalah pengendalian diri (self control). Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan yang datang, baik dari dalam diri maupun dari luar. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam bersabda, “puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia serta menjauhi perbuatan yang kotor dan keji,” (HR Al Hakim). Makan, minum dan seks merupakankebutuhan dasar manusia. Ketika berpuasa ditanamkan prinsip bahwa kitalah yang berkuasa terhadap diri kita (nafsu kita), bukan kita yang dikendalikan oleh nafsu.
La Taghdob!
Marah, bukan tidak boleh. Rasulullah sendiri pernah marah dalam hidupnya, tetapi beliau baru akan marah ketika sesuatu yang sangat substansial diusik (seperti kesucian Allah dan keislaman yang diserang). Namun, bila menyangkut pribadi beliau yang diganggu, hati beliau seluas samudra. Salah satu tipologi kemuliaan ku kepribadian Rasulullah adalah “Nabi sukar sekali marah, tapi gampang memaafkan kesalahan orang,” (sedang, temperamen kebanyakan kita mungkin di antara ini: mudah marah-gampang memaafkan,sukar marah-sukar memaafkan, atau yang paling celaka mudah marah sukar memaafkan)
Suatu ketika, seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Amal apa yang paling disukai Allah, sedikit tapi bisa mengantarkan ke surga?” “la taghdob!” (jangan marah!) jawab Nabi (HR Bukhori). Al Quran mencirikan salah satu ketakwaan yakni “kemampuan menahan amarah dan kesanggupan memaafkan orang lain,” QS Ali Imran 134.

Menyitir kembali melodrama kisah Adam di surga yang mengisahkan pelanggaran pertama yang dilakukan nenek moyang manusia itu adalah mendekati sebuah pohon terlarang. Padahal ketika itu Adam bebas untuk memakan apapun yang ada di taman surge, kecuali satu saja, hanya sebuah pohon. Itu pun ternyata dilanggar. Jadi, kita dapat mengambil iktibar sebagai anak turun Adam bahwa dasar kelemahan kita sebagai manusia adalah ketidakmampuan mengendalikan diri.
“maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih abik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, merka memberi maaf” (QS Asy-Syura 6-37)

**diambil dari:

Rahasia Kesehatan rasulullah, karya dr. Ade Hashman, Sp.An, penerbit Noura Books
Share this article :

Posting Komentar

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger