Lingkar Studi Islam Psikologi Unnes


Merupakan lembaga Kerohanian Islam yang mengkaji permasalahan psikologi dari perspektif islam di Jurusan Psikologi, Fakultan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang yang Sehat, Unggul, dan sejahtera.

Gedung A1 Lantai 2 Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Kec. Gunungpati Semarang

email : lsipsikologi.unnes@gmail.com
No. HP : 085865091326
News Update :
slider otomatis
Home » » Pentingnya Islamisasi Sains dan Psikologi

Pentingnya Islamisasi Sains dan Psikologi

Penulis : maama on Sabtu, 13 September 2014 | Sabtu, September 13, 2014

Hakekat Ilmu dalam Islam
“barang siapa menghendaki kebahagiaan hidup di dunia, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan hidup di akherat, maka harus dengan ilmu.  Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan duna dan akherat, maka harus dengan ilmu.” [HR Ath Thabrani]
Ilmu adalah apa yang telah difirmankan Allah SWT, disabdakan oleh Rasul Nya, dan diucapkan oleh para sahabat. Ilmu bukanlah gambaran yang salah. [ibnul qayyim al jauziyah]

Ilmu adalah kunci kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika Nabi Sulaiman a.s diperintahkan oleh Allah untuk memilih salah satu dari tiga perkara: ilmu, harta, dan kekuasaan. Nabi Sulaiman memilih Ilmu. Lalu, Allah menyertakan bersamanya harta dan kekuasaan yang besar. Dalam islam, ilmu adalah jalan untuk memperkuat dan mempertebal keimanan.  Ilmu adalah suatu usaha untuk mendekatkan diri kepada kebenaran, Al Haq, Allah.

Pentingnya Mengislamkan Ilmu dan Islamisasi Psikologi
            Dalam perkembangannya, ilmu sangat dipengaruhi oleh siapa yang mengembangankan ilmunya. Sehingga ilmu apapun, termasuk psikologi dan filsafat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang menggunakan ilmunya. Ketika yang mengembangkan ilmu itu bukan orang islam, tentu saja maksud dari ilmu tidak sampai pada mendekatkan diri pada Allah. Namun, bukan berarti tidak benar. Bagi mereka yang tidak memiliki paham “tauhid” kebenaran adalah relative [kebenaran: ada kebenaran relative, populis, parsial, ideal, dsb], akibatnya ilmu tidak lagi menjadi jalan menuju kebenaran (Al Haq), tetapi hanya sebagai jalan untuk membenarkan perilaku-perilaku yang kita sukai.
            Apabila difokuskan ke psikologi, islamisasi psikologi artinya mengembalikan ilmu psikologi sebagai sarana atau jalan untuk memperkuat keimanan kita, mempertebal ketakwaan kita, dan memahami kebenaran yang sesungguhnya, yaitu Allah (Al Haq). Sehingga, dengan ilmu psikologi islam diharapkan semakin kuat imannya dan semakin bertakwa. Sementara psikologi yang tidak islam itu ibaratnya hanya pengetahuan yang berserkan, yang ujung-ujungnya hanya membenarkan perilaku pengembang ilmunya, yang notabene tidak selalu di jalan yang benar.
            Bangunan ilmu, apabila dalam filsafat ada ontologinya. Ontology adalah dasar-dasar asumsinya, asumsi dasarnya, basicnya, akarnya, postulat yang mendasar, worldviewnya, atau sebenarnya adalah keimanan kita. Misalnya, teori Darwin percaya bahwa manusia berasal dari evolusi, dan sejarah manusia bisa dilacak melalui DNA, kromosom, dll. Jadi, filosofis yang mendasarinya adalah manusia hanyalah materi. Sementara menurut islam manusia mengandung materi namun juga tidak hanya materi, karena manusia menjadi manusia ketika Allah meniupkan ruh, sebelum ruh ditiupkan maka manusia belum menjadi manusia. Itulah yang disebut sebagai ontology, dan yang mempengaruhi ilmu-ilmu yang akan kita pelajari nanti. Bagi ilmuan barat, melacak fosil-fosil manusia purba adalah sesuatu hal yang penting, karena mereka melihat manusia dari segi fisiknya atau jasadnya, mereka ingin tahu, awalnya jasadnya seperti apa. Berbeda dengan islam, yang penting adalah ruhani nya.
Seperti teori tabularasa, itu awalnya dari adalah Ibnu Sina, tentu saja dengan landasan iman [setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tua nya lah yang menjadikan nasrani, yahudi atau majusi, HR bukhori muslim]. Sehingga, sebenarnya orang barat pun dipengaruhi oleh pemikiran islam, mulai dari tabularasa, cognitive psychology, kemudian mind and body, namun mereka semakin lama semakin material sehingga “mind” itu sendiri diterjemahkan menjadi otak.
Jadi, yang namanya islamisasi itu bukan hanya sekedar perlu, tapi wajib bagi muslim. Karena jika tidak, maka akan terjadi kebingungan. Jika kita sebagai muslim belajar psikologi terpaksa kita akan mempunyai dua ilmu. Ilmu tentang manusia menurut islam, dan manusia menurut psikologi, lalu bisa membingungkan. Kita akan terombang ambing dengan dua argumntasi yang tidak sejalan dan kadang-kadang saling bertentangan, padahal sebenarnya tidak perlu karena apa yang kita pelajari dari psikologi itu hanya sebagian dari manusia saja, dan sebagian itu tidak begitu penting. Sehingga bisa dianggap penting asal dikaitkan dengan kejiwaan, karena dalam islam semua ilmu itu bisa menjadi senjata kita untuk menyelamakan kehidupan di dunia dan akherat.
Bagaimana Sikap Kita (sebagai muslim) dalam belajar Psikologi
            Ilmu psikologi barat itu tidak mikir akherat, dunia pun sebenarnya mereka masih bingung. Jadi, jika kita belajar hanya ilmu psikologi barat, maka selah-olah tidak memiliki pegangan untuk selamat dunia dan akherat. Kita kalo pegangan agamanya kuat, bisa selamat, tapi ibaratnya tertarik ke dua kutub, psikologi barat menarik kea rah dunia sedangkan agama menarik ke akherat, dan perjalanan hidup bisa terhambat karena yang dikejar psikologi barat adalah hedonism, kenikmatan dunia. Secara filosofis hal itu harus dipahami sehingga jika kita mau belajar ilmu psikologi kita harus sangat kritis, jangan mengadopsi pemikiran-pemikiran psikologi barat begitu saja, lalu menerapkan dalam kehidupan kita, karena banyak yang bertentangan dengan islam.
            Apabila kita mau menggali ilmu psikologi, pertama-tama kita harus menginjak pada tauhid (mengesakan Allah), bahwa manusia ini adalah ciptaan Allah. Jadi jangan humanistic (mempertuhankan manusia, merasa setiap pilihan manusia itu benar asalkan merasa benar padahal belum tentu) jadi, sumber kebenaran adalah Allah. Manusia adalah hamba Allah, makanya kan setiap kita melakukan sesuatu mestinya dengan “bismillah”, dengan izin Allah. Nah, sikap itu yang membuat kita menjadi lebih berhati-hati dalam menggunakan ilmu psikologi. Jadi kita mempelajari psikologi dari barat ya harus dengan sikap seperti itu bahwa ini pendapat orang, bisa saja salah. Nah kit abaca, kita pahami apakah cocok dengan Al Quran? Ataukah justru melenceng? Kalo melenceng ya kita tidak pake, bukan menggunakan dalil Freudian lalu mempertanyakan Al Quran atau membagas hadist dengan dalil Freudian, itu kan terbalik.

Disarikan oleh Amatullah S Iezzah, dari diskusi LSI psikologi UNNES dengan Pak Bagus Riyono (dosen UGM, pencetus teori RUH, dan penulis buku motivasi dalam perspektif psikologi islam), Ngaglik, Sleman, Jogja, 13 Juli 2014. 
Share this article :

Posting Komentar

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger