Hakekat
Ilmu dalam Islam
“barang siapa
menghendaki kebahagiaan hidup di dunia, maka harus dengan ilmu. Dan barang
siapa menghendaki kebahagiaan hidup di akherat, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan duna
dan akherat, maka harus dengan ilmu.” [HR Ath Thabrani]
Ilmu adalah
apa yang telah difirmankan Allah SWT, disabdakan oleh Rasul Nya, dan diucapkan
oleh para sahabat. Ilmu bukanlah gambaran yang salah. [ibnul qayyim al
jauziyah]
Ilmu adalah
kunci kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika Nabi Sulaiman a.s diperintahkan
oleh Allah untuk memilih salah satu dari tiga perkara: ilmu, harta, dan
kekuasaan. Nabi Sulaiman memilih Ilmu. Lalu, Allah menyertakan bersamanya harta
dan kekuasaan yang besar. Dalam islam, ilmu adalah jalan untuk memperkuat dan mempertebal
keimanan. Ilmu adalah suatu usaha untuk mendekatkan diri kepada kebenaran,
Al Haq, Allah.
Pentingnya Mengislamkan Ilmu dan Islamisasi Psikologi
Dalam perkembangannya, ilmu sangat
dipengaruhi oleh siapa yang mengembangankan ilmunya. Sehingga ilmu apapun,
termasuk psikologi dan filsafat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang
menggunakan ilmunya. Ketika yang mengembangkan ilmu itu bukan orang islam,
tentu saja maksud dari ilmu tidak sampai pada mendekatkan diri pada Allah.
Namun, bukan berarti tidak benar. Bagi mereka yang tidak memiliki paham
“tauhid” kebenaran adalah relative [kebenaran: ada kebenaran relative, populis,
parsial, ideal, dsb], akibatnya ilmu tidak lagi menjadi jalan menuju kebenaran
(Al Haq), tetapi hanya sebagai jalan untuk membenarkan perilaku-perilaku yang
kita sukai.
Apabila difokuskan ke psikologi,
islamisasi psikologi artinya mengembalikan ilmu psikologi sebagai sarana atau
jalan untuk memperkuat keimanan kita, mempertebal ketakwaan kita, dan memahami
kebenaran yang sesungguhnya, yaitu Allah (Al Haq). Sehingga, dengan ilmu
psikologi islam diharapkan semakin kuat imannya dan semakin bertakwa. Sementara
psikologi yang tidak islam itu ibaratnya hanya pengetahuan yang berserkan, yang
ujung-ujungnya hanya membenarkan perilaku pengembang ilmunya, yang notabene
tidak selalu di jalan yang benar.
Bangunan
ilmu, apabila dalam filsafat ada ontologinya. Ontology adalah dasar-dasar
asumsinya, asumsi dasarnya, basicnya, akarnya, postulat yang mendasar,
worldviewnya, atau
sebenarnya adalah keimanan kita. Misalnya, teori Darwin percaya bahwa manusia
berasal dari evolusi, dan sejarah manusia bisa dilacak melalui DNA, kromosom,
dll. Jadi, filosofis yang mendasarinya adalah manusia hanyalah materi.
Sementara menurut islam manusia mengandung materi namun juga tidak hanya materi,
karena manusia menjadi manusia ketika Allah meniupkan ruh, sebelum ruh
ditiupkan maka manusia belum menjadi manusia. Itulah yang disebut sebagai
ontology, dan yang mempengaruhi ilmu-ilmu yang akan kita pelajari nanti. Bagi
ilmuan barat, melacak fosil-fosil manusia purba adalah sesuatu hal yang
penting, karena mereka melihat manusia dari segi fisiknya atau jasadnya, mereka
ingin tahu, awalnya jasadnya seperti apa. Berbeda dengan islam, yang penting
adalah ruhani nya.
Seperti teori
tabularasa, itu awalnya dari adalah Ibnu Sina, tentu saja dengan landasan iman [setiap
bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tua nya lah yang menjadikan
nasrani, yahudi atau majusi, HR bukhori muslim]. Sehingga, sebenarnya orang
barat pun dipengaruhi oleh pemikiran islam, mulai dari tabularasa, cognitive
psychology, kemudian mind and body, namun mereka semakin lama semakin material
sehingga “mind” itu sendiri diterjemahkan menjadi otak.
Jadi, yang namanya islamisasi itu bukan hanya
sekedar perlu, tapi wajib bagi muslim. Karena jika tidak, maka akan terjadi
kebingungan. Jika kita sebagai muslim belajar psikologi terpaksa kita akan
mempunyai dua ilmu. Ilmu tentang manusia menurut islam, dan manusia menurut
psikologi, lalu bisa membingungkan. Kita akan terombang ambing dengan dua
argumntasi yang tidak sejalan dan kadang-kadang saling bertentangan, padahal
sebenarnya tidak perlu karena apa yang kita pelajari dari psikologi itu hanya
sebagian dari manusia saja,
dan sebagian itu tidak begitu penting. Sehingga bisa dianggap penting asal
dikaitkan dengan kejiwaan, karena dalam islam semua ilmu itu bisa menjadi
senjata kita untuk menyelamakan kehidupan di dunia dan akherat.
Bagaimana Sikap Kita (sebagai muslim) dalam belajar Psikologi
Ilmu
psikologi barat itu tidak mikir akherat, dunia pun sebenarnya mereka masih
bingung. Jadi, jika kita belajar hanya ilmu psikologi barat, maka selah-olah
tidak memiliki pegangan untuk selamat dunia dan akherat. Kita kalo pegangan
agamanya kuat, bisa selamat, tapi ibaratnya tertarik ke dua kutub, psikologi
barat menarik kea rah dunia sedangkan agama menarik ke akherat, dan perjalanan
hidup bisa terhambat karena yang dikejar psikologi barat adalah hedonism,
kenikmatan dunia. Secara filosofis hal itu harus dipahami sehingga jika kita
mau belajar ilmu psikologi kita harus sangat kritis, jangan mengadopsi
pemikiran-pemikiran psikologi barat begitu saja, lalu menerapkan dalam
kehidupan kita, karena banyak yang bertentangan dengan islam.
Apabila kita mau menggali ilmu
psikologi, pertama-tama kita harus menginjak pada tauhid (mengesakan Allah),
bahwa manusia ini adalah ciptaan Allah. Jadi jangan humanistic (mempertuhankan
manusia, merasa setiap pilihan manusia itu benar asalkan merasa benar padahal
belum tentu) jadi, sumber kebenaran adalah Allah. Manusia adalah hamba Allah,
makanya kan setiap kita melakukan sesuatu mestinya dengan “bismillah”, dengan
izin Allah. Nah, sikap itu yang membuat kita menjadi lebih berhati-hati dalam
menggunakan ilmu psikologi. Jadi kita mempelajari psikologi dari barat ya harus
dengan sikap seperti itu bahwa ini pendapat orang, bisa saja salah. Nah kit
abaca, kita pahami apakah cocok dengan Al Quran? Ataukah justru melenceng? Kalo
melenceng ya kita tidak pake, bukan menggunakan dalil Freudian lalu
mempertanyakan Al Quran atau membagas hadist dengan dalil Freudian, itu kan
terbalik.
Posting Komentar