Lingkar Studi Islam Psikologi Unnes


Merupakan lembaga Kerohanian Islam yang mengkaji permasalahan psikologi dari perspektif islam di Jurusan Psikologi, Fakultan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang yang Sehat, Unggul, dan sejahtera.

Gedung A1 Lantai 2 Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Kec. Gunungpati Semarang

email : lsipsikologi.unnes@gmail.com
No. HP : 085865091326
News Update :
slider otomatis

Bergesernya Parameter Kebenaran

Penulis : maama on Senin, 22 Desember 2014 | Senin, Desember 22, 2014

Senin, 22 Desember 2014



“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” [An Naml: 16]
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Saat ini, kita telah banyak melihat dalam kehidupan sehari-hari kita, banyak orang tidak mengenal lagi suatu kebenaran. Parameter kebenaran yang banyak dipahami bukan lagi kebenaran mutlak, kebenaran yang dipahami adalah ketika banyak orang mengatakan “benar” sekalipun itu adalah sesuatu yang salah. Sebenarnya, fenomena semacam ini bukan lah seuatu yang baru dalam sejarah kehidupan manusia. Sebagaimana yang ditulis oleh Abu Fatiah Al Adnani dalam tulisannya yang berjudul “Ketika Parameter Menilai Kebenaran Telah Berubah” di majalah An Najah bulan Oktober lalu, Al Quran banyak berkisah tentang fenomena ini.
“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan, ‘usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu. Karena sesungghnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan) dirinya bersih” [An Naml: 56]
Menurut Abu Fatiah Al Adnani, ayat dalam surat di atas memberi gambaran tentang terjadinya pergeseran nilai dalam sebuah masyarakat. Mereka, kaum Nabi Luth menganggap bahwa orang yang menjaga keluhuran dan kehormatan justru dianggap penjahat dan harus mendapat hukuman. Orang yang berkeinginan memperbaiki kondisi masyarakat dianggap sebagai perusak, dan harus di usir dari lingkungan mereka. Saat homoseksual telah menjadi gaya hidup mereka, hingga tidak ada seorang pun merasa terganggu, maka mereka menganggap aneh orang-orang yang tidak berperilaku seperti mereka.
Al Quran juga mengisahkan tentang Nabi Musa yang tertulis dalam surat [Al A’raf : 127], Nabi Musa dianggap oleh pengikut Firaun sebagai perusak dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Begitu juga pembesar kaum Syuaib yang beranggapan bahwa mengikuti ajaran Nabi Syuaib justru  akan mengantarkan pada kerugian [Al A’raf: 90]. Kerugian yang mereka maksud tentunya bukan kerugian akherat, melainkan kerugian karena hilangnya kedudukan, jabatan, serta hilangnya kenikmatan hidup.
Saya, setuju dengan ungkapan Abu Fatiah Al Adnani, hari ini kita juga sedang mengalamai fenomena ini. Karena memang fenomena seperti itulah yang saya lihat saat ini. Banyak orang yang sudah melupakan “kebenaran” yang sesungguhnya, justru orang-orang yang berusaha berpegang teguh pada kebenaran dianggap sebagai orang aneh. Kita bisa melihat dari cara berpakaian kaum wanita. Mereka yang berpakaian terbuka dianggap biasa saja, tapi wanita yang berpakaina tertutup dan syar’I justru dianggap aneh. Kita juga bisa melihat dari pemikiran-pemikiran yang mulai terlihat bebas, seperti pacaran dianggap hal yang umum dan dianjurkan, tapi remaja yang menjomblo justru dianggap kuper.
Begitulah fenomena bergesernya parameter kebenaran yang sedang kita hadapi saat ini. Kebanyakan orang tidak lagi menganggap “kebenaran” datang dari wahyu Allah. Mereka justru menganggap “kebenaran” adalah sesuatu yang kebanyakan orang menganggapnya “benar”. Menurut saya, fenomena ini erat kaitannya dengan illusion of truth dan hello effect yang kita kenal dalam ilmu psikologi. Tentunya, fenomena ini juga disebabkan banyak faktor termasuk kebodohan, fanatik, taklid buta, ghulu, dan lalai dari perenungan ayat-ayat Allah. Kebodohan dan lali dari perenungan ayat-ayat Allah menyebabkan kita mengalami “illusion of truth”, sementara fanatik, taklid, dan ghulu berawal dari hello effect.
Illusion of Truth artinya adalah ilusi kebenaran. Yaitu, ketika suatu kabar diungkapkan secara berulang-ulang, kita akan mulai meyakini bahwa kabar itu adalah valid, meskipun sebenarnya kabar itu hanyalah sebuah kebohongan. Contoh sederhananya bisa kita temui saat kita sedang ujian. Ketika kita dibingungkan dengan pilihan jawaban saat ujian, bisa jadi kita memilih bertanya pada teman yang posisinya dekat dengan kita untuk meyakinkan, meskipun saat itu kita telah memiliki persangkaan jawaban. Bisa jadi, ketika kita menyangka jawaban yang benar adalah A, namun kita tahu jawaban teman disamping kita adalah B, pun teman di belakang dan depan kita juga memilih jawaban B. Kita pun akhirnya berfikiri, mungkin jawaban yang benar memang B. Padahal, kenyataannya belum tentu jawaban itu benar, bisa jadi jawaban yang kita sangkakan justru benar. Begitupun dengan fenomena yang kita hadapai saat ini, kebenaran yang berasal dari anggapan kebanyakan orang, bisa jadi itu hanyalah sebuah ilusi. Bahkan, media-media saat ini sudah sering menggunakan trik ini dalam melakukan black campaign, agar masyarakat percaya pada berita bohong dengan cara mengulang-ulang pemberitaan itu.
Bergesernya parameter kebenaran juga tidak lepas dari hello effect yang keterlaluan. Seringkali, kita terjebak dalam hal ini. Ketika kita menganggap seseorang itu benar, sering kali kita bahkan tidak akan mempercayai bahwa ia melakukan suatu kesalahan. Sehingga kita justru menganggap kesalahan yang ia lakukan merupakan sesuatu hal yang benar, dan kita mulai mengikutinya. Kita sudah terburu-buru mencap seseorang yang berbeda pendapat dengan kita adalah tidak benar. Seperti inilah fanatik, menganggap benar sesuatu yang diwarisi dari nenek moyang kita sekalipun itu adalah batil. Ini juga merupakan gambaran ghulu (berlebih-lebihan) dalam mencintai seseorang yang kita anggap benar, sampai-sampai kita tidak percaya bahwa ia melakukan kesalahan dan justru menganggap kesalahan itu adalah suatu kebenaran. Ini juga merupakan gambaran taklid, yaitu mengambil pendapat manusia tanpa mengetahuo dalilnya dan tanpa menyelidiki sejauh mana kebenarannya.
Padahal, bukankah Allah telah berpesan untuk tidak mengikuti kebanyakan orang? Dan bukankah Allah telah berpesan bahwa bisa jadi yang kita benci adalah baik dan yang kita suka adalah buruk. Maka, alangkah baiknya jika ditengah-tengah masyarakat dengan kondisi seperti ini kita memfilter informasi yang kita dapat, dan tidak langsung menerimanya mentah-mentah, tapi juga dipilah berdasarkan kebenaran yang hakiki atas dasar petunjuk Allah dan RasulNya, agar kita tidak termasuk dalam orang-orang yang terjebak dalam menilai kebenaran.
*Amatullah Sibghotul Iezzah
Semarang, Gunungpati, 22 Desember 2014
komentar | | Read More...

kalender

Popular posts

Blogroll

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger