Saat kita menghadapi kenakalan anak, baik itu
mengejek, bicara kasar, tidak sopan, maupun perilaku menyimpang lainnya,
pernahkah kita tanpa sadar berfikir “ini anak, dibilangin kok susah banget
sih,” ? Sebagai orang tua, tentulah kita menginginkan anak – anak kita tumbuh
dengan landasan islam, dan memiliki akhlak atau adab sosial yang tinggi. Oleh
karena itu, seharusnya kita memiliki suatu metode untuk meluruskan dan mendidik
akhlaknya. Namun, sudah tepatkah metode yang kita terapkan selama ini?
Jangan-jangan metode pendidikan kita selama ini terlalu keras, atau mungkin
terlalu lembut dan terkesan memanjakan anak. Lalu, bagaimanakah Rasulullah dan para
sahabat melakukannya? Berikut ini sedikit penjelasan mengenai tahapan
memperbaiki dan meluruskan akhlak anak yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabat.
1. Mengingatkan
Mengingatkan, adalah prinsip
pertama dalam pendidikan anak atau parenting.Pendidikan
bukanlah mengarahkan agar anak sesuai dengan keinginan orang tua atau keinginan
masyarakat. Namun, mengarahkan dan menasehati anak untuk berpegang pada kebenaran.
Bukhari dan Muslim, telah menyampaikan cerita Abu Salamah ra. Ketika Abu
Salamah masih kecil, Abu Salamah pernah dididik oleh Rasulullah saw. Pada suatu
hari, Abu Salamah menjulurkan tangannya ke arah makanan yang ada dalam piring.
Kemudian, Rasulullah berkata kepadanya, “wahai anakku, sebutkanlah nama Allah,
makanlah dengan tanganmu, dan makanlah (hanya) yang ada di sampingmu.”
Ketika kita menasehatinya, anak
akan berfikir tentang apa yang kita nasehatkan, setelah itu anak akan mampu
mengambil keputusan dengan tepat. Namun, tidak satu-dua kali kita mengingatkan
atau menasehati bisa langsung berhasil. Kita membutuhkan usaha yang terus
menerus. Secara psikologis, ketika kita mengingatkan satu kali, maka anak akan
merekamnya dalam memori jangka pendek mereka yang sifatnya sementara dan mudah hilang
(mudah dilupakan). Agar tidak mudah dilupakan, maka kita perlu mengingatkannya
atau menasehatinya secara berulang-ulang agar nasehat kita terrekam dalam
memori jangka panjangnya. Setiap anak melakukan kesalahan langsung diingatkan.
Begitu terus. Lama kelamaan, nasehat kita akan terekam dalam memori jangka
panjangnya yang sifatnya menetap dalam waktu yang lama dan tidak mudah
dilupakan. Dengan cara ini, ketika dewasa anak akan bisa mengambil keputusan
secara mandiri, mana yang baik dilakukan, dan mana yang tidak baik dilakukan.
2. Memboikot
Jika sudah sering dinasehati namun anak tidak
patuh juga, maka langkah selanjutnya adalah memboikotnya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, boikot berarti menolak untuk bekerjasama, baik menolak
kerjasama berdagang, menolak bicara, menolak ikut serta, dsb. Sedangkan, dalam
buku Tarbiyatul Aulad, memboikot berarti meninggalkan anak.
Kisah Rasul dan para sahabat mengenai boikot
ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id ra, ia bercerita bahwa
Rasulullah telah melarang bermain melempar (batu dengan telunjuk dan ibu jari).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya lemparan itu tidk akan mematikan buruan dan
tidak pula akan melukai musuh. Tetapi ia dapat mencukil mata dan mematahkan
gigi.”
Pada suatu hari, salah satu kerabat Ibnu
Mughaffal yang belum baligh bermain lempar batu. Kemudian Ibnu Mughaffal
melarangnya sebagaimana perintah Rasul. Beliau mengingatkan kerabatnya,
“sesungguhnya Rasulullah telah melarang bermain lempar batu, dan beliau
bersabda ‘sesungguhnya ia tidak akan memburu buruan . . . dst…’” Namun, setelah
Ibnu Mughaffal mengingatkannya, anak itu tetap ngeyel, dan tetap bermain lempar batu. Maka Ibnu Mughaffal berkata
pada anak itu, “Aku memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah telah melarangnya,
namun engkau terus bermain lempar batu? Aku tidak akan mengajakmu bicara
selamanya!”
Boikot, dalam ilmu sosial, bisa juga disebut
sebagai hukuman atau sanksi sosial. Di masyarakat, umumnya sanksi sosial ini
diperuntukkan bagi mereka yang melanggar norma sosial yaitu perilaku-perilaku
yang diluar kebiasaan umum masyarakat. Secara psikologis, sanksi sosial seperti
ini akan membuat seseorang merasa sesak karena ia kehilangan perasaan nyaman
yang biasa ia dapatkan. Sanksi sosial ini juga membuantnya lebih banyak
berfikir dan merenungi kesalahan yang ia lakukan. Dengan begitu, anak akan
mengambil keputusan yang tepat, selain karena menyadari kesalahannya, juga agar
ia mendapatkan kembali perasaan nyaman yang pernah dimilikinya. Anak juga akan
menyadari, bahwa orang tuanya, tidak mau dikhianati oleh anaknya sendiri.
3. Memukul
Rasulullah bersabda, “perintahkan anak-anakmu
untuk melaksanakan shalat apabila mereka telah berusia 7 tahun, dan apabila
mereka telah berusia 10 tahun, maka pukullah mereka (apabila tidak mau
melaksanakan shalat itu) dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Secara
psikologis, anak usia 7-10 tahun, anak masih berfikir secara konkret, sehingga
anak harus dididik dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, dan harus
dididik secara konsisten. Pada anak usia 10 tahun, ketika orang tua sudah
sering mengingatkan, namun anak tidak kunjung menununjukkan perbaikan, maka
jalan terakhir adalah dipukul dengan pukulan yang tidak melukai. Seperti
dipukul di daerah kaki dan tangan (bukan kepala, atau organ vital lainnya).
Mengapa dipukul? Karena anak diusia 10 tahun sudah mulai memahami hal-hal yang
bersifat abstrak, anak sudah memiliki kesadaran diri untuk memilih yang baik
dan benar. Ketika anak dipukul, berarti kita mengingatkan pada anak bahwa
shalat adalah suatu kewajiban, jika ditinggalkan akan berdosa dan akan mendapat
hukuman.
Jika memang cukup dengan nasehat yang lemah
lembut, maka kita tidak diperkenankan memboikotnya. Demikian pula, jika memang
sudah cukup dengan cara memboikotnya, kita tidak diperkenankan memukulnya.
Pemukulan (yang tidak melukai) baru diperkenankan jika dua cara sebelumnya
(menasehati dan memboikot) sudah tidak mempan lagi. Tahapan pendidikan seperti
ini dilakukan ketika anak masih berada pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Sedangkan apabila anak sudah memasuki
usia remaja (sekitar usia12 – 20 tahunan) dan dewasa, maka pendidikannya
tentulah berbeda. Ketika anak sudah tidak mempan bila dinasehati atau
diingatkan, maka kita harus memboikot selamanya, jika ia tetap berada dalam
kefasikan dan kedurhakaan.
Amatullah Sibghotul Iezzah, tim psikologi SD 01 Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto
Alumni psikologi UNNES 2015
Posting Komentar