Lingkar Studi Islam Psikologi Unnes


Merupakan lembaga Kerohanian Islam yang mengkaji permasalahan psikologi dari perspektif islam di Jurusan Psikologi, Fakultan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang yang Sehat, Unggul, dan sejahtera.

Gedung A1 Lantai 2 Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Kec. Gunungpati Semarang

email : lsipsikologi.unnes@gmail.com
No. HP : 085865091326
News Update :
slider otomatis
Home » , » Langkah Meluruskan Akhlak Anakku...

Langkah Meluruskan Akhlak Anakku...

Penulis : maama on Rabu, 30 Maret 2016 | Rabu, Maret 30, 2016

Saat kita menghadapi kenakalan anak, baik itu mengejek, bicara kasar, tidak sopan, maupun perilaku menyimpang lainnya, pernahkah kita tanpa sadar berfikir “ini anak, dibilangin kok susah banget sih,” ? Sebagai orang tua, tentulah kita menginginkan anak – anak kita tumbuh dengan landasan islam, dan memiliki akhlak atau adab sosial yang tinggi. Oleh karena itu, seharusnya kita memiliki suatu metode untuk meluruskan dan mendidik akhlaknya. Namun, sudah tepatkah metode yang kita terapkan selama ini? Jangan-jangan metode pendidikan kita selama ini terlalu keras, atau mungkin terlalu lembut dan terkesan memanjakan anak. Lalu, bagaimanakah Rasulullah dan para sahabat melakukannya? Berikut ini sedikit penjelasan mengenai tahapan memperbaiki dan meluruskan akhlak anak yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat.


1.    Mengingatkan
Mengingatkan, adalah prinsip pertama dalam pendidikan anak atau parenting.Pendidikan bukanlah mengarahkan agar anak sesuai dengan keinginan orang tua atau keinginan masyarakat. Namun, mengarahkan dan menasehati anak untuk berpegang pada kebenaran. Bukhari dan Muslim, telah menyampaikan cerita Abu Salamah ra. Ketika Abu Salamah masih kecil, Abu Salamah pernah dididik oleh Rasulullah saw. Pada suatu hari, Abu Salamah menjulurkan tangannya ke arah makanan yang ada dalam piring. Kemudian, Rasulullah berkata kepadanya, “wahai anakku, sebutkanlah nama Allah, makanlah dengan tanganmu, dan makanlah (hanya) yang ada di sampingmu.”
Ketika kita menasehatinya, anak akan berfikir tentang apa yang kita nasehatkan, setelah itu anak akan mampu mengambil keputusan dengan tepat. Namun, tidak satu-dua kali kita mengingatkan atau menasehati bisa langsung berhasil. Kita membutuhkan usaha yang terus menerus. Secara psikologis, ketika kita mengingatkan satu kali, maka anak akan merekamnya dalam memori jangka pendek mereka yang sifatnya sementara dan mudah hilang (mudah dilupakan). Agar tidak mudah dilupakan, maka kita perlu mengingatkannya atau menasehatinya secara berulang-ulang agar nasehat kita terrekam dalam memori jangka panjangnya. Setiap anak melakukan kesalahan langsung diingatkan. Begitu terus. Lama kelamaan, nasehat kita akan terekam dalam memori jangka panjangnya yang sifatnya menetap dalam waktu yang lama dan tidak mudah dilupakan. Dengan cara ini, ketika dewasa anak akan bisa mengambil keputusan secara mandiri, mana yang baik dilakukan, dan mana yang tidak baik dilakukan.

2.    Memboikot
Jika sudah sering dinasehati namun anak tidak patuh juga, maka langkah selanjutnya adalah memboikotnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, boikot berarti menolak untuk bekerjasama, baik menolak kerjasama berdagang, menolak bicara, menolak ikut serta, dsb. Sedangkan, dalam buku Tarbiyatul Aulad, memboikot berarti meninggalkan anak.
Kisah Rasul dan para sahabat mengenai boikot ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id ra, ia bercerita bahwa Rasulullah telah melarang bermain melempar (batu dengan telunjuk dan ibu jari). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya lemparan itu tidk akan mematikan buruan dan tidak pula akan melukai musuh. Tetapi ia dapat mencukil mata dan mematahkan gigi.”
Pada suatu hari, salah satu kerabat Ibnu Mughaffal yang belum baligh bermain lempar batu. Kemudian Ibnu Mughaffal melarangnya sebagaimana perintah Rasul. Beliau mengingatkan kerabatnya, “sesungguhnya Rasulullah telah melarang bermain lempar batu, dan beliau bersabda ‘sesungguhnya ia tidak akan memburu buruan . . . dst…’” Namun, setelah Ibnu Mughaffal mengingatkannya, anak itu tetap ngeyel, dan tetap bermain lempar batu. Maka Ibnu Mughaffal berkata pada anak itu, “Aku memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah telah melarangnya, namun engkau terus bermain lempar batu? Aku tidak akan mengajakmu bicara selamanya!”
Boikot, dalam ilmu sosial, bisa juga disebut sebagai hukuman atau sanksi sosial. Di masyarakat, umumnya sanksi sosial ini diperuntukkan bagi mereka yang melanggar norma sosial yaitu perilaku-perilaku yang diluar kebiasaan umum masyarakat. Secara psikologis, sanksi sosial seperti ini akan membuat seseorang merasa sesak karena ia kehilangan perasaan nyaman yang biasa ia dapatkan. Sanksi sosial ini juga membuantnya lebih banyak berfikir dan merenungi kesalahan yang ia lakukan. Dengan begitu, anak akan mengambil keputusan yang tepat, selain karena menyadari kesalahannya, juga agar ia mendapatkan kembali perasaan nyaman yang pernah dimilikinya. Anak juga akan menyadari, bahwa orang tuanya, tidak mau dikhianati oleh anaknya sendiri.
3.    Memukul
Rasulullah bersabda, “perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat apabila mereka telah berusia 7 tahun, dan apabila mereka telah berusia 10 tahun, maka pukullah mereka (apabila tidak mau melaksanakan shalat itu) dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Secara psikologis, anak usia 7-10 tahun, anak masih berfikir secara konkret, sehingga anak harus dididik dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, dan harus dididik secara konsisten. Pada anak usia 10 tahun, ketika orang tua sudah sering mengingatkan, namun anak tidak kunjung menununjukkan perbaikan, maka jalan terakhir adalah dipukul dengan pukulan yang tidak melukai. Seperti dipukul di daerah kaki dan tangan (bukan kepala, atau organ vital lainnya). Mengapa dipukul? Karena anak diusia 10 tahun sudah mulai memahami hal-hal yang bersifat abstrak, anak sudah memiliki kesadaran diri untuk memilih yang baik dan benar. Ketika anak dipukul, berarti kita mengingatkan pada anak bahwa shalat adalah suatu kewajiban, jika ditinggalkan akan berdosa dan akan mendapat hukuman.
Jika memang cukup dengan nasehat yang lemah lembut, maka kita tidak diperkenankan memboikotnya. Demikian pula, jika memang sudah cukup dengan cara memboikotnya, kita tidak diperkenankan memukulnya. Pemukulan (yang tidak melukai) baru diperkenankan jika dua cara sebelumnya (menasehati dan memboikot) sudah tidak mempan lagi. Tahapan pendidikan seperti ini dilakukan ketika anak masih berada pada masa kanak-kanak dan pubertas. Sedangkan  apabila anak sudah memasuki usia remaja (sekitar usia12 – 20 tahunan) dan dewasa, maka pendidikannya tentulah berbeda. Ketika anak sudah tidak mempan bila dinasehati atau diingatkan, maka kita harus memboikot selamanya, jika ia tetap berada dalam kefasikan dan kedurhakaan.
Amatullah Sibghotul Iezzah, tim psikologi SD 01 Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto
Alumni psikologi UNNES 2015

[Ma’roji: Tarbiyatul Aulad fil Islam, AbdullH Nasih Ulwan]



Share this article :

Posting Komentar

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger