Oleh
Syamsuddin Arif, Ph.D *)
Dalam dunia kedokteran, kanker dikenal sebagai penyakit ganas yang mematikan. Jika dibiarkan atau lambat ditangani, sel kanker bisa tumbuh tak terkendali, menyebar dan merusak jaringan-jaringan anggota tubuh, mengakibatkan berbagai komplikasi, disfungsi, gangguan dan kegagalan. Cukup mengerikan. Namun ada yang lebih dahsyat dari itu, yang disebut “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini memang tidak berbentuk tumor, dan karenanya tidak dapat ditangkap oleh sinar-x. Akan tetapi bahayanya tidak kalah mengerikan. Jika tidak lekas ditangani, kanker epistemologis bisa melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure). Pada gilirannya penyakit ini akan menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.
Pengidap kanker epistemologis biasanya memperlihatkan gejala-gejala sebagai berikut. Pertama, bersikap skeptis terhadap segala hal, dari soal sepele hingga ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dan bayyin dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang paling ekstrim, mereka yang terjangkit skeptisisme akut akan meragukan tidak hanya kebenaran posisinya sendiri dengan berkata “I don’t know” (nescio), bahkan juga mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari atau didekati, tetapi mustahil ditemukan (nesciam). Dalam literatur filsafat Yunani kuno, sikap mental semacam ini dinamakan arrepsia (bimbang, sangsi) dan aoristia (bingung, tidak bisa memutuskan).
Gejala kedua adalah berfaham relativistik. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dsb) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut faham ini, kebenaran berada dan tersebar dimana-mana, namun semuanya bersifat relatif.
Anda, saya, maupun dia, masing-masing sama-sama benar, tidak boleh menyalahkan satu sama lain, dan tidak berhak mengklaim diri sebagai yang atau paling benar. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan mengaggap semuanya benar (panaletheisme).
Dalam hal ini, relativisme epistemologis adalah identik –kalau bukan sinonim– dengan pluralisme. Jika diteliti dengan seksama, paham seperti ini sebenarnya bangkrut. Dari mana ia dapat menyimpulkan bahwa semua pendapat adalah benar? Padahal, konsep ‘benar’ itu ada justru karena adanya konsep ‘salah’ .
Bahwa sindrom ini telah menjangkiti sebagian kalangan cendekiawan dan tokoh agama telah terbukti, misalnya, dalam ungkapan seorang kolumnis di harian nasional belum lama ini. Mengomentari kasus Amina Wadud, ia menulis: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan ”k” kecil. Dengan kata lain, apa yang kita yakini sebagai kebenaran mungkin saja salah. Kita mencari kebenaran sepanjang hidup. Apa yang kita percaya sebagai kebenaran adalah sesuatu yang merupakan hasil dari proses belajar dari orang tua, dari sekolah, dari buku, dari lingkungan, dari guru, dari pengalaman hidup, sampai sekarang. Saya tidak bisa mengatakan, apa yang saya anggap benar, pasti benar. Selalu harus terbuka kemungkinan untuk mengoreksi, meninjau ulang,” begitu kutipnya.
Selain lugu (karena membantah ucapannya sendiri alias self-refuting), kolumnis ini hanya menunjukkan kejahilan (ignorance)-nya, karena tidak bisa membedakan antara pengetahuan yang kebenarannya bersifat putatif (seperti teori-teori sains) dan yang pengetahuan yang sudah final dan tsabit dalam agama.
Gejala lain yang ditunjukkan oleh pengidap kanker epistemologis adalah kekacauan akal (intellectual confusion). Ia tidak lagi bisa membedakan yang benar dan yang salah, yang haqq dan yang bathil. Ia cenderung menyamakan dan mencampur-adukkan keduanya. Garis demarkasi yang memisahkan kebenaran dan kepalsuan tidak mampu dilihatnya. Yang paling parah jika hal ini menyebabkan si pesakit lantas menganggap kebenaran sebagai kebathilan, dan sebaliknya, meyakini kebathilan sebagai kebenaran. Seperti mereka yang termakan tipu muslihat Dajjal, melihat air sebagai api, dan api disangka air.
Meskipun sangat berbahaya dan dapat berakibat fatal, kanker epistemologis sebenarnya bukan mustahil untuk ditanggulangi. Terapi yang paling efektif adalah dengan menyuntikkan ilmu yang bermanfaat ke dalam diri kita. Ilmu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Ilmu yang menuntun kita kepada kebenaran. Ilmu yang dengannya kita dapat melihat yang benar itu benar, dan yang palsu itu palsu. Ilmu yang memberikan kita kriteria dan neraca untuk mengukur dan menimbang, menilai dan memutuskan, memisah dan membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Ilmu tersebut adalah ilmu para Nabi, yang perlahan-lahan mulai berkurang, dan kelak sama-sekali hilang saat kiamat menjelang.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, ide dan pemikiran telah menjadi komoditi yang bebas dipasarkan dan dijual di mana-mana. Terserah dan terpulang kepada konsumen mau membeli produk pemikiran jenis apa, karena alasan dan untuk tujuan apa. Namun justru disinilah diperlukan kecerdasan dan ketelitian dalam memilah dan memilih sebelum mengkonsumsi suatu gagasan atau pemikiran. Jangan asal beli. Berhati-hatilah terhadap pelbagai modus penipuan dan penyesatan.
Penulis teringat sebuah ungkapan bijak yang mengatakan bahwa manusia itu ada empat macam. Pertama, mereka yang tahu bahwa dirinya tahu. Yang ini patut dipercaya dan diikuti. Sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an: ula’ika l-ladzina hadallah, fa-bihudahum iqtadih! (al-An’am 90). Kedua, mereka yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Yang seperti ini harus diingatkan dan disadarkan dulu sebelum diikuti. Ketiga, mereka yang tahu bahwa dirinya tak tahu. Yang semacam ini perlu dibimbing dan ditunjukkan. Keempat, mereka yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu. Yang model begini tidak perlu dilayani, karena cenderung ngeyel (merasa tahu tetapi tidak tahu merasa). Kepada golongan ini kita disarankan cukup berkata: salamun ‘alaykum la nabtaghi l-jahilin (al-Qashash 55).
*) Penulis adalah peneliti INSISTS. Kini sedang mengambil program doktoralnya yang kedua di Frankfurt, Jerman
Syamsuddin Arif, Ph.D *)
Dalam dunia kedokteran, kanker dikenal sebagai penyakit ganas yang mematikan. Jika dibiarkan atau lambat ditangani, sel kanker bisa tumbuh tak terkendali, menyebar dan merusak jaringan-jaringan anggota tubuh, mengakibatkan berbagai komplikasi, disfungsi, gangguan dan kegagalan. Cukup mengerikan. Namun ada yang lebih dahsyat dari itu, yang disebut “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini memang tidak berbentuk tumor, dan karenanya tidak dapat ditangkap oleh sinar-x. Akan tetapi bahayanya tidak kalah mengerikan. Jika tidak lekas ditangani, kanker epistemologis bisa melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure). Pada gilirannya penyakit ini akan menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.
Pengidap kanker epistemologis biasanya memperlihatkan gejala-gejala sebagai berikut. Pertama, bersikap skeptis terhadap segala hal, dari soal sepele hingga ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dan bayyin dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang paling ekstrim, mereka yang terjangkit skeptisisme akut akan meragukan tidak hanya kebenaran posisinya sendiri dengan berkata “I don’t know” (nescio), bahkan juga mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari atau didekati, tetapi mustahil ditemukan (nesciam). Dalam literatur filsafat Yunani kuno, sikap mental semacam ini dinamakan arrepsia (bimbang, sangsi) dan aoristia (bingung, tidak bisa memutuskan).
Gejala kedua adalah berfaham relativistik. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dsb) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut faham ini, kebenaran berada dan tersebar dimana-mana, namun semuanya bersifat relatif.
Anda, saya, maupun dia, masing-masing sama-sama benar, tidak boleh menyalahkan satu sama lain, dan tidak berhak mengklaim diri sebagai yang atau paling benar. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan mengaggap semuanya benar (panaletheisme).
Dalam hal ini, relativisme epistemologis adalah identik –kalau bukan sinonim– dengan pluralisme. Jika diteliti dengan seksama, paham seperti ini sebenarnya bangkrut. Dari mana ia dapat menyimpulkan bahwa semua pendapat adalah benar? Padahal, konsep ‘benar’ itu ada justru karena adanya konsep ‘salah’ .
Bahwa sindrom ini telah menjangkiti sebagian kalangan cendekiawan dan tokoh agama telah terbukti, misalnya, dalam ungkapan seorang kolumnis di harian nasional belum lama ini. Mengomentari kasus Amina Wadud, ia menulis: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan ”k” kecil. Dengan kata lain, apa yang kita yakini sebagai kebenaran mungkin saja salah. Kita mencari kebenaran sepanjang hidup. Apa yang kita percaya sebagai kebenaran adalah sesuatu yang merupakan hasil dari proses belajar dari orang tua, dari sekolah, dari buku, dari lingkungan, dari guru, dari pengalaman hidup, sampai sekarang. Saya tidak bisa mengatakan, apa yang saya anggap benar, pasti benar. Selalu harus terbuka kemungkinan untuk mengoreksi, meninjau ulang,” begitu kutipnya.
Selain lugu (karena membantah ucapannya sendiri alias self-refuting), kolumnis ini hanya menunjukkan kejahilan (ignorance)-nya, karena tidak bisa membedakan antara pengetahuan yang kebenarannya bersifat putatif (seperti teori-teori sains) dan yang pengetahuan yang sudah final dan tsabit dalam agama.
Gejala lain yang ditunjukkan oleh pengidap kanker epistemologis adalah kekacauan akal (intellectual confusion). Ia tidak lagi bisa membedakan yang benar dan yang salah, yang haqq dan yang bathil. Ia cenderung menyamakan dan mencampur-adukkan keduanya. Garis demarkasi yang memisahkan kebenaran dan kepalsuan tidak mampu dilihatnya. Yang paling parah jika hal ini menyebabkan si pesakit lantas menganggap kebenaran sebagai kebathilan, dan sebaliknya, meyakini kebathilan sebagai kebenaran. Seperti mereka yang termakan tipu muslihat Dajjal, melihat air sebagai api, dan api disangka air.
Meskipun sangat berbahaya dan dapat berakibat fatal, kanker epistemologis sebenarnya bukan mustahil untuk ditanggulangi. Terapi yang paling efektif adalah dengan menyuntikkan ilmu yang bermanfaat ke dalam diri kita. Ilmu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Ilmu yang menuntun kita kepada kebenaran. Ilmu yang dengannya kita dapat melihat yang benar itu benar, dan yang palsu itu palsu. Ilmu yang memberikan kita kriteria dan neraca untuk mengukur dan menimbang, menilai dan memutuskan, memisah dan membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Ilmu tersebut adalah ilmu para Nabi, yang perlahan-lahan mulai berkurang, dan kelak sama-sekali hilang saat kiamat menjelang.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, ide dan pemikiran telah menjadi komoditi yang bebas dipasarkan dan dijual di mana-mana. Terserah dan terpulang kepada konsumen mau membeli produk pemikiran jenis apa, karena alasan dan untuk tujuan apa. Namun justru disinilah diperlukan kecerdasan dan ketelitian dalam memilah dan memilih sebelum mengkonsumsi suatu gagasan atau pemikiran. Jangan asal beli. Berhati-hatilah terhadap pelbagai modus penipuan dan penyesatan.
Penulis teringat sebuah ungkapan bijak yang mengatakan bahwa manusia itu ada empat macam. Pertama, mereka yang tahu bahwa dirinya tahu. Yang ini patut dipercaya dan diikuti. Sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an: ula’ika l-ladzina hadallah, fa-bihudahum iqtadih! (al-An’am 90). Kedua, mereka yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Yang seperti ini harus diingatkan dan disadarkan dulu sebelum diikuti. Ketiga, mereka yang tahu bahwa dirinya tak tahu. Yang semacam ini perlu dibimbing dan ditunjukkan. Keempat, mereka yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu. Yang model begini tidak perlu dilayani, karena cenderung ngeyel (merasa tahu tetapi tidak tahu merasa). Kepada golongan ini kita disarankan cukup berkata: salamun ‘alaykum la nabtaghi l-jahilin (al-Qashash 55).
*) Penulis adalah peneliti INSISTS. Kini sedang mengambil program doktoralnya yang kedua di Frankfurt, Jerman
Posting Komentar